Eksternalitas negatif seperti emisi karbon maupun limbah memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Lebih parahnya lagi, biaya yang harus dikeluarkan untuk perbaikan kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan dari dampak tersebut sangat besar.
Pada tahun 2022, Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) mengeluarkan dana sebesar Rp74 miliar untuk program yang berkaitan dengan perbaikan kerusakan lingkungan hidup dan pengendalian perubahan iklim –50% lebih dari dana tersebut dikhususkan untuk pengurangan emisi gas rumah kaca melalui upaya penghentian deforestasi hutan, peningkatan cadangan karbon, dan dukungan konservasi hutan.
Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan untuk penanganan penyakit pernapasan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), kanker paru, dan asma yang mencapai Rp10 triliun per tahunnya.
Sekitar 10 atau 15 tahun yang lalu, isu mengenai emisi karbon dan limbah tidak begitu populer karena kebanyakan dari fokus pemerintah hanya berkutat pada bagaimana cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan hal-hal kebijakan dasar lainnya dibidang keuangan, kesehatan, transportasi, dan pendidikan. Sehingga persoalan mengenai eksternalitas negatif dan lingkungan sering mendapat porsi perhatian yang minim.
Tetapi tidak untuk beberapa tahun belakangan ini, meningkatnya jumlah populasi dan sedang digencarkannya pembangunan ekonomi dalam rangka keluar dari middle-income trap, justru harus membuat pemerintah menjadi lebih sigap lagi menangani permasalahan eksternalitas negatif dan lingkungan.
Pasalnya, jumlah populasi yang terus meningkat pasti akan diikuti dengan tingginya permintaan kebutuhan listrik, barang-barang industri, dan permintaan di berbagai mode kendaraan pribadi, yang nantinya akan berindikasi pada tingginya jumlah akumulasi emisi karbon dan limbah industri.
Hal tersebut diperparah lagi dengan eksplorasi Sumber Daya Alam dan mineral yang kian masif. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Katadata, jumlah emisi karbon yang dihasilkan oleh Indonesia di tahun 2022 mencapai 700 Juta Ton, naik sekitar 18% dari tahun sebelumnya. Dan berdasarkan pemberitaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hanya sekitar 74% dari 81,87 Juta Ton limbah B3 yang dikelola melalui skema pemanfaatan, pembakaran, dan penimbunan.
Pada dasarnya pemerintah sudah melakukan beberapa kebijakan untuk mengatasi permasalahan emisi karbon dan limbah. Mulai dari kebijakan pencegahan pada ranah Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan, hingga pengenaan pajak pada ranah Kementerian Keuangan.
Fokus dari artikel ini adalah pengenaan pajak secara tepat yang akan dibebankan oleh produsen di sektor yang menghasilkan emisi karbon/limbah, dan pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) kepada Konsumen.
Pengenaan pajak secara tepat kepada produsen yang menghasilkan emisi karbon/limbah dilakukan dengan cara mencari besaran pajak optimal yang akan memaksimalkan penerimaan negara dari pajak tersebut.
Hal ini sangat penting, karena walaupun dalam proses produksinya menghasilkan emisi karbon/limbah, output yang dihasilkan tersebut sangat bermanfaat untuk masyarakat banyak dan berlangsungnya kegiatan perekonomian, sehingga apabila pemerintah mencoba menetapkan pajak yang lebih besar dari nilai optimalnya, maka kegiatan perekonomian akan terganggu dan penerimaan negara dari pajak tersebut tidak maksimal.
Dengan demikian, apabila pemerintah menetapkan pajak yang lebih rendah dari nilai optimalnya, penerimaan negara dari pajak tersebut juga tidak optimal, dan menyebabkan tidak sebandingnya dengan emisi karbon/limbah yang dihasilkan.
Ulasannya sebagai berikut, katakanlah fungsi permintaan dari perusahaan yang menghasilkan emisi karbon/limbah adalah pd(Q), dan fungsi penawarannya berupa konstan, yaitu ps(c,t,γ), 𝑐 adalah biaya produksi, 𝑡 adalah pajak yang dikenakan oleh pemerintah, dan 𝛾 adalah parameter yang mengukur berapa jumlah emisi karbon yang dihasilkan ketika output diproduksi, atau limbah tanpa pengelolaan yang dihasilkan ketika output diproduksi.
Saat nilai output keseimbangan Q* sudah ditentukan, nilai pajak optimal t* akan didapat setelah fungsi penerimaan negara dari pajak tersebut, yaitu R=tQ*, di maksimumkan terhadap 𝑡.
Kita dapat mengulas konsep tersebut dengan pajak karbon sebesar Rp30 per ton yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan UU. No. 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, jika karbon yang dihasilkan 1000 ton/hari maka penerimaan negara dari pajak tersebut adalah Rp 30.000/hari, pertanyaannya adalah apakah pajak karbon sebesar Rp 30 per ton tersebut merupakan nilai optimalnya?
Selanjutnya pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) kepada Konsumen yang dapat dianalisis melalui teori pemaksimalan utilitas dengan kendala anggaran, perhitungannya memiliki dua metode pengenaan pajak, yaitu Per-Unit Tax, dan Lump-sum Tax. Objek dari Per-Unit Tax adalah bahan bakar yang dikonsumsi, model nya sebagai berikut U(X,Y) s.t (px+t)X+py Y= 𝑀, X adalah konsumsi Bensin, 𝑌 dapat berupa konsumsi transportasi publik. px+ 𝑡 adalah harga bensin plus pajaknya, py adalah harga tiket/karcis transportasi publik, 𝑀 adalah alokasi anggaran. Dan objek dari Lump-Sum Tax adalah alokasi anggaran, model nya yaitu U(X,Y) s.t px X+py Y= M-tX*, dapat dilihat bahwa M-tX* adalah alokasi anggaran setelah dikenakan total pajak konsumsi bensin. Apabila X* diambil dari metode Per-Unit Tax, maka penerimaan negara dari pajak bensin melalui metode Lum-Sum Tax maupun Per-Unit Tax adalah sama yaitu R=tX*.
Teori menyatakan bahwa metode Lump sum Tax lebih menguntungkan daripada dengan metode Per-Unit Tax melalui nilai Utilitas yang lebih tinggi, karena konsumsi bensin 𝑋 setelah dikenakan Lump-Sum Tax sangat lebih besar daripada setelah dikenakan Per-Unit Tax, dan pembelian tiket/karcis Y setelah dikenakan Lump-Sum Tax lebih rendah daripada setelah dikenakan Per- Unit Tax. Hal itu sesuai dengan realitas masyarakat Indonesia yang lebih memilih beraktivitas dengan kendaraan pribadi (dalam hal ini akan membeli bensin lebih), karena memberikan kepuasan/utilitas yang lebih besar daripada menggunakan transportasi publik.
Pertanyaannya adalah mana metode pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang tepat? Jika tujuannya untuk mengurangi emisi karbon dari asap kendaraan bermotor jawabannya adalah Per-Unit Tax, dan hal itu sesuai dengan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang menetapkan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 5% dari setiap bahan bakar/bensin yang dibeli.
Lalu pemerintah dapat menggunakan sebagian penerimaan negara dari pajak tersebut untuk subsidi tiket/karcis transportasi publik, perbaikan/perluasan tempat pemberhentian transportasi publik, perluasan rute, dan peningkatan kenyamanan dari transportasi publik. Sehingga masyarakat akan lebih memilih transportasi publik ketimbang berkendara dengan kendaraan pribadi, dan emisi karbon dari asap kendaraan bermotor dapat ditekan.
Penulis: Alfa Hentriza