Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam dunia kerja, salah satunya adalah keterbatasan lapangan pekerjaan di sektor formal. Proporsi tenaga kerja formal menurun dari 42,73 persen pada 2019 menjadi 40,60 persen pada Februari 2025.
Akibatnya, jutaan tenaga kerja beralih ke sektor informal. Data BPS mencatat, pada Februari 2025, terdapat 86,58 juta pekerja informal di Indonesia. Pekerja gig menjadi bagian dari kelompok ini—mereka bekerja secara independen, berbasis permintaan, dan difasilitasi oleh platform digital (Woodcock & Graham, 2019).
Sektor gig memang menyerap tenaga kerja di tengah keterbatasan lapangan kerja. Namun, banyak pekerjanya yang tereksploitasi tanpa jaminan sosial dan perlindungan kerja. Banyak dari mereka bekerja berlebihan, seperti pengemudi ojek online yang bekerja lebih dari 12 jam sehari, atau desainer lepas yang pendapatannya fluktuatif dan sulit diprediksi.
Realitas ini menunjukkan bahwa meskipun menawarkan fleksibilitas dan potensi penghasilan, pekerja gig dihadapkan pada ketidakpastian dan kesejahteraan yang belum terjamin.
Dalam diskusi publik bertajuk Ruang Gagasan pada Rabu, 28 Mei 2025, isu ini dibahas secara mendalam. Salah satu temuan penting adalah bahwa ekonomi gig kerap menjadi alat monopoli pasar. Perusahaan besar memanfaatkan sistem ini tanpa memberikan ruang bagi pekerja untuk memperjuangkan hak dasarnya. Di saat yang sama, ekonomi gig dinilai hanya menjadi solusi jangka pendek.
Dalam jangka panjang, sistem ini berpotensi menciptakan masalah struktural, seperti kontrak kerja yang tidak jelas dan keterbatasan keterampilan yang membuat pekerja sulit masuk ke sektor formal.
Solusi terhadap persoalan ini perlu dilakukan secara sistemik dan kolaboratif. Pemerintah memegang peran sentral untuk merumuskan regulasi yang menjamin perlindungan dan kesejahteraan pekerja gig.
Salah satu usulan yang mengemuka adalah pembentukan forum terbuka yang melibatkan pekerja, perusahaan, dan pemerintah untuk membahas standar kerja, jaminan sosial, dan perlindungan hukum.
Selain itu, pemerintah perlu menciptakan lapangan kerja formal yang lebih fleksibel agar pekerja gig yang memiliki keterampilan tinggi bisa berkontribusi tanpa kehilangan fleksibilitas yang mereka butuhkan.
Pemanfaatan teknologi informasi untuk pengawasan dan evaluasi kebijakan juga sangat penting, guna memastikan kebijakan yang responsif dan berbasis data. Pekerja gig juga perlu dibekali pelatihan keterampilan dan sertifikasi untuk meningkatkan daya saing mereka di pasar kerja.
Fleksibilitas dalam ekonomi gig membuka peluang untuk mengurangi pengangguran. Namun, tanpa regulasi dan perlindungan yang memadai, potensi ini justru bisa menjadi jebakan baru bagi jutaan pekerja. Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, ekonomi gig dapat menjadi pendorong pertumbuhan lapangan kerja yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia.
Penulis: Irzal Eka Saputra - Intern at CORE Indonesia (Mahasiswa Universitas Jenderal Sudirman)