Publikasi

Urgensi Penerapan Ekonomi Hijau di Indonesia

Ilustrasi green economy. [pexels]

Perekonomian Indonesia tengah dihadapkan dengan dua tantangan besar yakni scarring effect akibat pandemi Covid-19 dan perubahan iklim. Scarring effect atau luka memar pada perekonomian menyisakan kemiskinan, ketimpangan yang kian lebar & terbatasnya penyediaan lapangan kerja. Bahkan risiko scarring effect di negara berkembang jauh lebih signifikan daripada di negara maju (Saparini, 2022). 

Hal ini diperparah dengan kondisi suhu bumi yang terus mengalami kenaikan. Suhu bumi saat ini sudah 1,1°C. Agar suhu tidak melebihi ambang batas (Paris Agreement 2015) yakni 1,5°C, emisi perlu dikurangi sebesar 45% pada tahun 2030 dan mencapai net zero emission global pada tahun 2050. Adapun target net zero emission Indonesia adalah pada tahun 2060.

Para ahli menyatakan bahwa untuk mencegah dampak terburuk perubahan iklim dan melestarikan planet yang layak huni, peningkatan suhu global harus dibatasi hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. 

Bahkan jika kenaikan suhu global dibatasi hingga 1,5°C pun hampir 49 persen gletser dunia akan lenyap pada tahun 2100. Jumlah itu akan mewakili sekitar 26 persen dari massa gletser Bumi (DW, 2023). Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti cuaca ekstrem, banjir, kekeringan, & kenaikan permukaan laut. Hampir 99,5% bencana di Indonesia terkait dengan bencana hidrometeorologi (BNPB,2022).

Paradigma pembangunan yang mengabaikan aspek lingkungan telah berdampak serius pada kerusakan lingkungan yang pada akhirnya merugikan masa depan manusia itu sendiri. Secara empiris, sebuah studi dengan data panel 140 negara menemukan adanya indikasi efek perlambatan dari degradasi lingkungan terhadap pertumbuhan ekonomi. 

Hubungan emisi dengan pertumbuhan ekonomi tergambar dalam bentuk U terbalik (inverted U-shaped). Artinya pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat seiring dengan emisi yang ditimbulkan pada saat tingkat degradasi lingkungan masih rendah. 

Namun, setelah batas tertentu, degradasi lingkungan yang terus menerus akan diikuti oleh penurunan pertumbuhan ekonomi  (Acheampong & Opoku, 2023).
Tanpa terobosan kebijakan, risiko scarring effect pasca pandemi ditambah dengan adanya ancaman perubahan iklim, Indonesia akan kehilangan kesempatan  untuk dapat keluar dari jebakan pendapatan menengah pada tahun 2045, mengurai ketimpangan dan mencapai target net zero emission. 

Jika kita melihat dari beberapa indikator sosial ekonomi pasca pandemi, beberapa diantaranya belum menunjukkan perbaikan signifikan. Misalnya saja kondisi ketenagakerjaan di Level Nasional belum menunjukkan perbaikan signifikan. Meski terjadi tren penurunan Tingkat pengangguran sejak pemulihan dari pandemi, namun tenaga kerja lebih banyak terserap di sektor informal. 

Proporsi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di sektor informal pada Februari 2024 mencapai 59,1 persen, sementara pada Februari 2019 sebelum pandemi Covid-19 melanda, proposinya hanya mencapai 57,3 persen. 
Sebagaimana diketahui bahwa tenaga kerja yang bekerja di sektor informal sangat minim perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan. 

Pekerja informal yang sudah mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan hanya berkisar 11 persen saja. Singapura bahkan 80 persen pekerja informalnya sudah tercakup jaminan sosial. 

Filipina pun jaminan sosial ketenagakerjaannya sudah mencakup 24 persen pekerja informal. Bagaimanapun informalitas ini akan berbanding lurus dengan kemiskinan. Semakin tinggi informalitas pada rumah tangga, maka semakin tinggi juga kemiskinan dan kerentanannya (OECD, 2019). 

Tingkat kemiskinan dan rasio gini Indonesia pun belum kembali ke level pra pandemi Covid-19. Meski anggaran bantuan sosial di level nasional sudah ditambah namun tidak membuat angka kemiskinan langsung turun signifikan. Scarring effect (luka memar) pada perekonomian akibat krisis pandemi berpotensi membutuhkan pembiayaan ekstra untuk perlindungan sosial. Sehingga pengurangan kemiskinan dapat ditempuh melalui penciptaan lapangan kerja seluas-luasnya. 

Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah itu, salah satunya adalah mendorong implementasi ekonomi hijau sebagai konsep pembangunan yang berkelanjutan di setiap negara. Green Economy atau Ekonomi hijau merupakan sebuah sistem kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan distribusi, produksi dan konsumsi barang serta jasa yang memperoleh peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Namun, tanpa menyebabkan generasi mendatang menghadapi risiko lingkungan yang signifikan atau kelangkaan ekologis (UNEP, 2011). 

Konsep green economy sebenarnya telah menjadi salah satu tema sentral Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG’s). Hal ini dimotivasi oleh kesadaran bahwa pembangunan berkelanjutan sangat bergantung pada kerangka kerja ekonomi itu sendiri. Sebab, ekonomi merupakan mesin yang kuat dalam membangun masyarakat, dan jika mesin ini tidak didesain untuk memperhatikan aspek berkelanjutan, maka akan sangat sulit untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (Speth, 2008).  Berikut ini adalah gambaran konsep ekonomi hijau dan kaitannnya dengan peningkatan kesejahteraan Masyarakat, peningkatan penciptaan lapangan kerja yang dapat mendorong perekonomian yang lebih berkelanjutan 

Permintaan Green Job

Peningkatan permintaan barang dan jasa yang mendukung pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan berdampak pada peningkatan kebutuhan pekerjaan di sektor-sektor tersebut.  Pekerjaan yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaan yang disebut sebagai green job. International Labor Organisation (ILO) mendefinisikan green job sebagai pekerjaan di bidang pertanian, industri, jasa dan administrasi yang berkontribusi untuk melestarikan atau memulihkan kualitas lingkungan. 

Dengan demikian, pekerjaan yang memasok energi berkelanjutan, melakukan daur ulang limbah, meningkatkan efisiensi penggunaan energi dan bahan baku, meminimalkan atau menghindari sama sekali segala bentuk limbah dan polusi, dan melindungi dan memulihkan ekosistem dan keanekaragaman hayati, dapat dikategorikan sebagai green job. Berikut ini adalah beberapa bidang yang masuk kategori green job

Sejalan dengan meningkatnya permintaan produk-produk yang berbasis green economy, permintaan tenaga kerja yang memiliki skill dan pengetahuan mengenai ekonomi hijau juga meningkat. Menurut laporan Linkedin (2022), pada tahun 2019 perekrutan tenaga kerja hijau secara global meningkat lebih cepat dari tingkat perekrutan keseluruhan di sebagian besar ekonomi di seluruh dunia. 

Dengan demikian, pekerja ramah lingkungan dipekerjakan pada tingkat yang lebih tinggi daripada pekerja non-hijau. Pada saat yang sama, pangsa skill hijau dalam angkatan kerja global meningkat dari 9,6% pada tahun 2015 menjadi 13,3% pada tahun 2021.

Potensi penyerapan tenaga kerja di Indonesia melalui green job diperkirakan akan sangat besar. Hal ini sejalan dengan kesadaran pemerintah dan masyarakat yang terus tumbuh untuk mengimplementasikan konsep green ekonomi dalam berbagai aspek. 

Sebagai contoh, kegiatan pemasangan panel surya di gedung-gedung pemerintah akan mendorong penciptaan lapangan kerja sekitar 50 orang per MW. Dengan target pemerintah yang mencapai 3,6 GW pada 2025, maka potensi tenaga kerja yang dapat diserap mencapai 180 ribu orang. Pengolahan sampah yang dilakukan oleh 7.500 UMKM, dapat menciptakan tenaga kerja sebesar 112,500 tenaga kerja. 

Kemudian, peremajaan beberapa tanaman perkebunan yaitu sawit, kopi, karet, dan kakao, seluas 107 ribu hektar akan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 172,000 tenaga kerja.  Penyerapan tenaga kerja tersebut akan jauh lebih besar jika skalanya semakin luas dan melibatkan sektor-sektor lainnya, seperti pada industri kelistrikan, air, dan gas, serta sektor industri manufaktur. 
 
Meskipun demikian, penyerapan tenaga kerja melalui industri manufaktur berbasis green job sangat bergantung pada daya saing industri yang masuk dalam kategori green job, seperti industri panel surya. Sayangnya, sebagian besar produk-produk industri manufaktur green sangat bergantung pada impor. 

Sebagai contoh, industri panel surya di Indonesia hanya melakukan assembly panel surya, sementara bahan bakunya hampir seluruhnya diimpor dari China. Di sisi lain, eksistensi industri panel surya domestik semakin terancam dengan derasnya impor panel surya dari China yang menawarkan harga yang lebih murah. Meskipun demikian, pasar industri domestik masih didukung oleh regulasi yang mengharuskan adanya Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebanyak 40 persen. 

Namun, kewajiban tersebut hanya terbatas pada proyek-proyek pemerintah sehingga pihak swasta lebih cenderung untuk melakukan impor karena harganya relatif lebih murah dibandingkan produk dalam negeri.

Green economy dalam jangka panjang akan menjadi tren pembangunan global termasuk di Indonesia. Namun apakah Indonesia mampu menangkap peluang ini sehingga mampu meningkatkan penciptaan tenaga kerja atau sekadar menjadi pasar bagi tenaga kerja asing yang memiliki skill yang lebih baik serta pasar bagi produk-produk green yang diproduksi di negara lain? 

Penulis: Eliza Mardian, Muhammad Ishak (Peneliti CORE Indonesia)