Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengguncang arsitektur perdagangan global. Pada 2 April 2025, Trump mengumumkan kebijakan tarif ganda: tarif dasar 10 persen untuk seluruh barang impor, ditambah tarif tambahan yang menyasar 57 negara dengan defisit perdagangan barang terhadap AS.
Indonesia, yang mencatat surplus perdagangan sebesar USD 14,2 miliar dengan AS pada 2024, menjadi salah satu dari “Dirty 15” — daftar negara yang dianggap ‘tidak adil’ oleh Washington.
Sebagai konsekuensinya, produk-produk ekspor utama Indonesia kini dikenai tarif tambahan sebesar 32 persen. Keputusan ini bukan hanya akan menggerus daya saing ekspor Indonesia di pasar AS, tetapi juga memicu eskalasi ketegangan bilateral yang berdampak sistemik pada perekonomian domestik.
Ketidakadilan dalam Narasi Perdagangan
Trump menjustifikasi kebijakan ini sebagai bentuk “reciprocal tariff” untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Namun, pendekatan ini terbukti bias dan tidak utuh.
“Perdagangan internasional tidak hanya mencakup barang, tetapi juga jasa,” jelas Prof. Dr. Sahara, SP, M.Si., Research Associate di CORE Indonesia.
“Penetapan tarif hanya berdasarkan defisit perdagangan barang mengabaikan surplus besar yang AS nikmati dalam sektor jasa, termasuk dari Indonesia.”
Menurut data 2022, AS menikmati surplus jasa sebesar USD 1,49 miliar terhadap Indonesia, terutama dari sektor jasa keuangan dan hak kekayaan intelektual fakta yang diabaikan dalam narasi Trump. Dengan kata lain, neraca perdagangan yang digambarkan timpang oleh AS sebenarnya menyimpan dimensi yang lebih kompleks dari yang dipaparkan oleh Gedung Putih.
Tekanan terhadap Sektor Ekspor Strategis
Tarif sebesar 32 persen terhadap Indonesia akan menghantam sektor ekspor vital. Industri tekstil dan garmen, yang mengirimkan lebih dari 60 persen produknya ke pasar AS, akan terpukul keras. Begitu pula industri alas kaki (ekspor senilai USD 1,9 miliar pada 2023), furnitur (57 persen), karet (49,7 persen untuk ban dan 23,2 persen untuk karet alam), serta elektronik dan peralatan listrik (63,3 persen).
Ketergantungan yang tinggi pada pasar AS menciptakan kerentanan struktural dalam sektor perdagangan eksternal Indonesia. Dalam jangka pendek, pelaku industri akan menghadapi peningkatan biaya dan potensi pembatalan pesanan. Dalam jangka panjang, kapasitas produksi bisa terpangkas, menurunkan pertumbuhan dan menyerap lebih sedikit tenaga kerja.
“Efeknya akan berlapis. Tidak hanya produsen, tetapi juga pekerja di sektor padat karya akan terdampak,” ujar Sahara. “Kebijakan ini mengingatkan kita bahwa strategi ekspor yang terlalu tergantung pada satu negara adalah risiko besar.”
Dampak Makroekonomi dan Risiko Lonjakan Impor
Kebijakan ini bukan hanya soal ekspor implikasinya merambat ke seluruh sistem ekonomi. Perlambatan ekspor akan menekan pertumbuhan PDB, memperlemah nilai tukar rupiah, serta menambah tekanan pada inflasi dan defisit fiskal.
Tak hanya itu, risiko lainnya adalah lonjakan impor dari negara-negara seperti Tiongkok dan Vietnam, yang juga masuk daftar tarif AS. Pembatasan akses mereka ke pasar AS bisa mengalihkan arus ekspor mereka ke Indonesia. Tanpa kebijakan pengamanan, banjir produk murah ini berpotensi menekan produsen lokal dan mengganggu neraca perdagangan dalam negeri.
Mengutip data WTO, Amerika Serikat sejatinya merupakan negara dengan jumlah kebijakan non-tarif tertinggi di dunia (6.665 kebijakan), jauh melampaui Indonesia yang hanya memiliki 350. Dengan demikian, label “perdagangan tidak adil” yang dialamatkan Trump pada negara-negara seperti Indonesia menjadi ironi tersendiri.
“AS menerapkan proteksi terselubung yang jauh lebih besar. Tapi justru negara-negara berkembang yang dijadikan kambing hitam,” kata Sahara. “Ini bukan lagi soal perdagangan bebas, tapi soal siapa yang bisa mendikte ulang aturan mainnya.”
Kebijakan ini menunjukkan bagaimana kekuatan besar memonopoli narasi keadilan dagang. Padahal, dalam kenyataannya, AS pun secara aktif melindungi pasar domestiknya lewat berbagai hambatan non-tarif.
Indonesia perlu segera menyiapkan respons taktis dan strategis. Negosiasi ulang, diversifikasi pasar ekspor, serta penguatan industri substitusi impor menjadi prioritas. Di sisi lain, diplomasi ekonomi harus dikedepankan untuk mengoreksi persepsi keliru tentang ketidakseimbangan perdagangan yang hanya melihat sisi barang.
Tanpa langkah antisipatif, Indonesia bukan hanya kehilangan pasar, tapi juga daya tawar dalam tatanan perdagangan global yang semakin agresif dan tidak adil.