Ancaman penutupan Selat Hormuz kembali membayangi ekonomi global. Jalur vital ini menjadi lalu lintas utama 25 persen perdagangan minyak mentah dunia dan 20 persen pasokan gas alam cair (LNG).
Ketergantungan global terhadap selat ini sangat tinggi. Tak ada jalur alternatif sebanding. Negara-negara seperti Kuwait, Qatar, dan Bahrain sepenuhnya bergantung pada jalur ini, bahkan Iran, yang mengancam blokade, masih mengekspor lewat selat yang sama.
Konflik antara Iran dan Israel sejak pertengahan Juni 2025 memicu ketegangan baru. Jika eskalasi berlanjut, harga minyak Brent diperkirakan bisa melonjak ke kisaran US$100–150 per barel. Dampaknya bisa menjadi supply shock besar yang mengguncang pasar energi global.
Bagi Indonesia, sebagai negara net importir minyak, potensi lonjakan harga ini adalah alarm fiskal. Mengacu pada CORE Insight edisi Meredam Guncangan Ekonomi dari Gejolak Timur Tengah, setiap kenaikan US$1 per barel harga minyak mentah Indonesia (ICP) menambah beban belanja negara sebesar Rp10,1 triliun.
Di sisi lain, penerimaan negara hanya bertambah Rp3,2 triliun. Selisih ini berarti defisit bersih sebesar Rp6,9 triliun per US$1 kenaikan harga minyak.
Pemerintah juga harus siap menghadapi tekanan inflasi yang berdampak langsung pada konsumsi rumah tangga. Berdasarkan data historis 2014–2023 yang dihimpun CORE, lonjakan inflasi akibat kenaikan harga energi menyebabkan konsumsi rumah tangga menurun tajam dalam tiga bulan pertama dan baru pulih ke level normal setelah hampir dua tahun.
Gejolak geopolitik turut mengguncang pasar keuangan global. Indeks Dow Jones dan S&P 500 sempat turun signifikan, sementara harga emas melonjak. Pasar sempat pulih pasca pengumuman gencatan senjata 24 Juni, namun ketidakpastian tetap tinggi karena gencatan itu dilakukan tanpa dukungan proses diplomatik formal. Potensi eskalasi ulang tetap terbuka.
CORE Insight merekomendasikan respons kebijakan cepat dan terukur. Pemerintah perlu merancang kebijakan fiskal yang adaptif terhadap lonjakan harga energi. Saat harga ICP melampaui asumsi APBN 2025 (US$82/barel), mekanisme penyesuaian otomatis perlu diaktifkan: mulai dari rekalibrasi subsidi energi, alokasi BBM non-subsidi yang tetap rasional, hingga skema bantuan langsung tunai bagi kelompok rentan yang terdampak.
Meski kenaikan harga minyak bisa mendatangkan windfall penerimaan dari PPh migas dan PNBP, jumlahnya masih jauh dari cukup untuk menutup beban subsidi yang melonjak.
Karena itu, CORE menyarankan strategi realokasi dari pos anggaran non-prioritas. Jika tekanan terus meningkat, pelebaran defisit anggaran secara terukur juga dapat dipertimbangkan, tetap dalam koridor fiskal yang ditetapkan konstitusi.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia dihadapkan pada tantangan capital outflow saat investor global beralih ke aset yang lebih aman. Dalam situasi ini, stabilisasi nilai tukar menjadi sangat krusial. Strategi suku bunga yang forward-looking serta intervensi pasar valuta asing secara terukur diperlukan untuk menjaga ekspektasi dan kepercayaan pasar.
Tak hanya respons jangka pendek, CORE juga menekankan pentingnya krisis ini sebagai pemicu transisi energi nasional. Ketergantungan tinggi terhadap bahan bakar fosil membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap gejolak global.
Karena itu, momentum ini harus dimanfaatkan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan, khususnya PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Potensi ekonomi dari sektor ini bisa mencapai Rp491 triliun per tahun, sekaligus menurunkan kebutuhan subsidi listrik dalam jangka panjang.
Mengutip CORE Insight, “Reorientasi kebijakan dari subsidi langsung menuju investasi energi surya bukan hanya lebih efisien, tapi juga menciptakan ruang fiskal yang lebih sehat dan berkelanjutan.”
Krisis di Timur Tengah menjadi pengingat bahwa ekonomi Indonesia tidak bisa bergantung pada harga energi global yang fluktuatif. Ketahanan fiskal, kebijakan moneter yang gesit, dan transisi energi yang terakselerasi adalah kunci menjaga stabilitas ekonomi di tengah dunia yang kian tidak pasti.