Publikasi

Praktik Pengelolaan Sampah Berkelanjutan: BSI Solusi Jitu Problem Sampah

Ilustrasi orang memungut sampah. [Pexels]

Bank sampah adalah salah satu solusi mengatasi masalah sampah di Indonesia. Bank sampah merupakan tempat pengumpulan sampah yang dikelola oleh masyarakat dan memiliki nilai ekonomi. Salah satu praktik ekonomi hijau yang telah diterapkan di tingkat daerah adalah pengadaan Bank Sampah. 

Bank Sampah Induk (BSI) Kota Bandung adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah yang baik. 

BSI di Kota Bandung menggunakan model bisnis jual beli sampah. Jenis sampah yang bisa mereka kumpulkan atau kelola sangat bergantung dengan ketersediaan offtaker (pembeli). Salah satu jenis sampah yang dikumpulkan dari masyarakat atau rumah tangga adalah limbah minyak jelantah.

Komoditas ini dibeli oleh Asosiasi Kafe dan Restoran (AKAR) untuk diekspor ke Eropa sebagai bahan baku biodiesel. Meski tidak membatasi siapa pembelinya. BSI bergantung kepada AKAR sebagai pembeli utama. Artinya, ketika AKAR belum melakukan pembelian maka suplai jelantah akan menumpuk di BSI.

Anggota BSI biasanya terdaftar sebagai suatu kelompok atau unit. Contohnya dalam 1 unit diisi oleh 1 RW atau lebih dari 30 orang. Warga yang menjual sampahnya ke BSI akan langsung mendapatkan uang dengan nominal yang telah dihitung atau ditabungkan dalam bentuk gram emas. Dalam hal ini BSI bekerja sama dengan PT. Pegadaian. 

Misalnya uang sebesar Rp 300 ribu kemudian apabila dikonversi ke emas, beberapa tahun berikutnya bisa naik dari Rp 300 ribu tersebut.
Studi kasus penerapan program bank sampah ini berpotensi memberikan benefit kepada masyarakat berupa berkurangnya volume sampah sehingga membuat lingkungan lebih bersih, peningkatan pendapatan masyarakat dalam hal adanya nilai tambah bagi sampah non-organik, dan pemanfaatan limbah. 

Program ini sudah diterapkan di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, diantaranya Bank Sampah Srayan Makarya di Kabupaten Banyumas, yang merupakan pelopor tabungan emas dari konversi sampah. 

Namun, meskipun bank sampah ini sudah melakukan pengelolaan yang cukup baik seperti memilah sampah dari sumbernya, menyetorkan sampah sampai mencatat hasil dari tabungan sampah, partisipasi masyarakatnya masih tergolong rendah, sehingga keberlanjutan kegiatan pengolahan sampah tersebut tidak terlaksana dengan baik. 

Pihak pengelola bank sampah perlu secara aktif memberikan edukasi terhadap masyarakat terkait sampah, agar masyarakat menjadi lebih aktif dalam mengelola sampah dan menjaga lingkungan (Isnah Rahmadani, 2021). 

Pemanfaatan Sampah menjadi Material Substitusi Bangunan

Sampah plastik merupakan jenis sampah terbanyak kedua di Jawa Tengah, dengan proporsi sebesar 18 persen dari total sampah. Sampah jenis ini memiliki potensi besar apabila dapat dimanfaatkan, salah satu yang paling menguntungkan adalah dengan ecobrick. Ecobrick dapat membantu mengurangi dampak lingkungan seperti pencemaran tanah dan air, serta membantu dalam upaya pemulihan ekosistem. Selain itu, ecobrick juga dapat membuat nilai ekonomi baru dan mengurangi biaya pengelolaan sampah. 

Ecobrick dapat dimanfaatkan sebagai material dasar dalam memproduksi sebuah barang menjadi material substitusi bangunan seperti batu bata merah atau batako. Ecobrick memiliki fleksibilitas tinggi dalam aplikasi konstruksi, sehingga dapat digunakan untuk membuat berbagai jenis bangunan seperti bangku, meja, dan furniture lainnya. 

Dengan adanya ecobrick, sampah-sampah plastik dapat tersimpan dengan baik dalam botol dan dimanfaatkan untuk hal berguna lainnya, alih-alih membuat sampah plastik harus dibakar, tertimbun, atau dibiarkan menggunung di tempat pembuangan sampah.

Pengolahan sampah menjadi ecobrick dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Dalam membuat ecobrick, yang dibutuhkan hanya sampah plastik, botol bekas air mineral, dan tongkat untuk memadatkan sampah plastik.

Pembuatan ecobrick yang cukup simpel ini dapat diterapkan secara berkelanjutan di berbagai tempat pengelolaan sampah, salah satunya bank sampah, sehingga sampah-sampah tersebut selain dilakukan pemilahan, juga dapat dimanfaatkan menjadi produk lainnya yang memiliki nilai guna.

Pemanfaatan Tepung Kulit Pisang

Selama ini limbah kulit pisang yang dihasilkan dari produksi gethuk pisang hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak saja sehingga kurang memiliki nilai ekonomis. Padahal menurut Lestari (2018), jumlah kulit pisang yang berlimpah akan memiliki nilai jual yang tinggi dan menguntungkan apabila dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan.

Aryani (2018) menambahkan bahwa kulit pisang memiliki potensi besar untuk diolah menjadi tepung karena nilai Karbohidrat yang tinggi. Tepung kulit pisang sangat prospektif dalam pengembangan pangan yaitu sebagai penyedia sumber makanan baru dengan beberapa keunggulan, diantaranya: kandungan serat kulit pisang sangat tinggi, mengandung Vitamin C, B, Kalsium juga Karbohidrat. Dengan kandungan yang cukup kompleks, tepung kulit pisang ini dapat menjadi substitusi tepung gandum.

Tepung kulit pisang berpotensi mengurangi ketergantungan impor gandum yang terus bertambah. Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen atau penghasil tepung kulit pisang. Menurut Munadjim (1998), Kulit Pisang yang dihasilkan setara dengan ⅓ dari buah pisang utuh. 

Produksi pisang Jawa Tengah sebanyak 1,08 Juta Ton (2022), sehingga potensi limbah yang dihasilkan sebesar 0,33 juta ton. 
Tiap 1 Kg limbah kulit pisang, dapat menghasilkan 0,14 kg tepung (Lukman, 2014). Sehingga berpotensi menghasilkan 47.143 Ton Tepung. Harga 1 Kg tepung berkisar Rp 10.000 - Rp 15.000. Potensi penambahan pendapatan sebesar Rp 47,14 Milyar - 70,7 Milyar. 

Dengan menerapkan pemanfaatan kulit pisang menjadi tepung, terdapat sejumlah benefit yang dapat dirasakan yaitu potensi pengurangan impor gandum, pengurangan limbah kulit pisang, peningkatan pendapatan masyarakat, dan peningkatan kesehatan karena kandungan nutrisi yang tinggi.

Penulis: Risky Priscilia (Peneliti CORE Indonesia)