Publikasi

Pajak Karbon Menjadi Solusi PRK di Indonesia?

ilustrasi pajak. [pixabay]

Penerapan pajak karbon hingga saat ini belum di implementasikan di Indonesia. Pajak karbon digadang-gadang menjadi solusi pembiayaan yang dapat menutupi besarnya kebutuhan pendanaan program Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Indonesia.  

Lantas, apa sebenarnya pajak karbon, dan sejauh mana sebenarnya instrumen ini dapat membantu Indonesia dalam mendanai program PRK dalam mencapai net zero emission Indonesia pada tahun 2060? 

Secara umum, pajak karbon atau carbon tax adalah pajak yang dikenakan atas sejumlah emisi karbon yang dilepaskan oleh suatu pihak atau polluter. Seperti halnya instrumen carbon pricing lainnya, pajak karbon merupakan salah satu bentuk dari penerapan polluter pays principle. 

Prinsip ini menghendaki bahwa biaya yang diakibatkan oleh polusi harus ditanggung oleh pihak yang menyebabkan polusi tersebut.

Besaran tarif pajak ini umumnya ditentukan berdasarkan jumlah emisi karbon yang mungkin dilepaskan ke atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Seiring berjalannya waktu, tarif pajak karbon akan terus ditingkatkan untuk memicu peralihan dan pengembangan teknologi yang lebih ramah lingkungan. 

Pajak karbon diyakini dapat mengurangi emisi secara efisien karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan banyak anggaran dan justru berpotensi mendapatkan tambahan anggaran melalui penerimaan pajak karbon, sebagai alternatif sumber pembiayaan program reduksi karbon.

Dalam UU HPP, disebutkan bahwa tarif minimal dari pajak karbon yang akan diterapkan adalah sebesar Rp 30 per kg CO2. Selain itu, disebutkan juga bahwa industri PLTU Batubara merupakan satu-satunya industri yang akan dikenakan pajak karbon pada tahap awal. 

Rencana awalnya, pengenaan pajak ini pada industri PLTU batubara akan berlaku mulai tahun 2022 hingga 2024. Barulah pada tahun 2025 pengenaan pajak akan diperluas ke berbagai sektor, sesuai dengan tingkat kesiapannya. Dari ketentuan tersebut, potensi penerimaan negara dari pajak karbon di tahap awal pengenaanya adalah sekitar Rp 6,11 Triliun. 

Angka tersebut didapatkan dari hitungan potensi emisi yang dihasilkan PLTU batubara di Indonesia berpotensi sekitar 203,64 juta ton CO2 dengan tarif minimal sebesar sebesar Rp 30 per kg CO2.

Mengacu pada estimasi Kementerian Keuangan, total anggaran yang dibutuhkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mencapai target NDC selama tahun 2020-2030, adalah sebesar Rp 3,78 Kuadriliun, atau sebesar Rp 343 Triliun per tahun. Artinya, untuk mencapai target terbaru sesuai yang tercantum dalam dokumen ENDC, Indonesia akan membutuhkan anggaran yang lebih besar dari angka tersebut. 

Berdasarkan penjabaran di atas, potensi pajak karbon (tahap awal) sebagai alternatif sumber pembiayaan masih sangat kecil jika dibandingkan estimasi kebutuhan anggaran dari Kemenkeu, yaitu hanya sebesar 1,78%. 

Rendahnya estimasi penerimaan pajak karbon di atas disebabkan oleh rendahnya tarif dan terbatasnya sektor yang dikenakan pajak. Artinya, jika pajak karbon dijadikan sebagai instrumen pembiayaan utama dalam mendanai program pembangunan rendah karbon, maka terdapat kecenderungan bahwa pemerintah akan meningkatkan tarif pajak ini serta memperluas cakupan sektor yang dikenakan.

Penulis : Sahaya Aulia Azzahra, Rivan Dwi Aghnitama (Peneliti CORE Indonesia)