Mungkinkah Smart Farming dapat meningkatkan minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian?
Jawabannya tentu bisa jika memang terbukti mampu meminimalisir ketidakpastian dan risiko. Dilansir dari CNBC, Jakpat merilis terkait alasan penyebab mengapa Gen-Z tidak berminat bekerja di sektor pertanian lantaran rentan risiko.
Sektor pertanian akan memiliki daya tarik jika saja mampu meningkatkan nilai ketahanan pangan dan efisiensi di sektor pertanian. Juga tentunya berdampak positif kepada kesejahteraan pelaku sektor pertanian.
Minat Gen Z atau generasi muda terjun ke sektor pertanian berbasis Smart Farming sangat dimungkinkan akan tumbuh dengan proses tahapan produksi kekinian dengan menerapkan teknologi-teknologi canggih.
Misalnya saja pengolahan lahan pada tahap pra-produksi yang sudah menggunakan alat canggih khusus, penanaman dengan mesin otomatis atau pembibitan melalui teknologi Drone, pemupukan dan pemberian pestisida di tahap produksi yang juga menggunakan teknologi Drone; serta pemanenan dengan alat otomatis terintegrasi, dan pemasaran produk berbasis digital pada tahap pasca-produksi.
Harapan ke depannya setelah Smart Farming berhasil meningkatkan minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian adalah generasi muda itu akan berbalik menjadi pionir dalam kemajuan sektor pertanian berbasis Smart Farming.
Nantinya, mereka diharapkan melakukan penelitian dan inovasi di sektor pertanian berbasis Smart Farming tersebut. Hal itu sangat penting mengingat rata-rata usia petani di Indonesia didominasi oleh usia yang hampir tidak produktif lagi.
Berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, persentase petani usia 27-42 tahun (generasi milenial) hanya sebesar 25,61 %, petani usia 43-58 tahun (generasi X) sebesar 42,39 %, dan petani usia 59-77 tahun (Baby Boomer) sebesar 27,61%. Ini jelas sebuah ironi!
Generasi muda yang seharusnya punya andil lebih untuk menjadi pelaku sektor pertanian justru tidak. Oleh karena itu diharapkan bahwa pendekatan Smart Farming ini akan meningkatkan jumlah petani generasi muda.
Untuk mewujudkan hal itu tentu pemerintah tidak bisa tinggal diam saja, berikut beberapa program dasar yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah.
1. Memprioritaskan pemberian beasiswa S2 untuk mereka yang mempunyai topik atau konsentrasi penelitian dibidang pertanian berbasis Smart Farming, dan juga membuat porsi anggaran untuk universitas di dalam Negeri terkait Research & Development dibidang tersebut, lalu turunkan hasil pencapaian penelitian tersebut ke segala lini salah satunya ke level Sekolah Menengah Kejuruan jurusan Agribisnis dan Agroteknologi, supaya SDM untuk bidang tersebut dapat dilatih sedini mungkin.
2. Pemerintah dapat memberikan kemudahan atau insentif untuk pendirian bisnis Start-Up bidang pertanian berbasis Smart Farming, Start-Up tersebut nantinya dapat menjalin kerja sama dengan universitas, lembaga pemerintahan, atau berkontribusi langsung membantu petani-petani generasi muda di lapangan.
3. Kementerian pertanian dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mendirikan kelompok tani milenial dan Gen-Z, nantinya kelompok tani tersebut dapat diberi kemudahan dalam hal akses permodalan seperti pemberian Kredit Usaha Rakyat Pertanian atau permodalan melalui skema hibah.
Program dasar tersebut tentunya harus diikuti dengan kebijakan ekonomi lainnya seperti kebijakan impor yang tidak ugal-ugalan, kebijakan pemberian subsidi pupuk dan benih, serta kebijakan penetapan harga pembelian pemerintah (HPP). Kombinasi antara pemberian subsidi dan penetapan harga pembelian pemerintah akan meningkatkan nilai tukar petani (NTP) yang kemudian berdampak pada kesejahteraannya, sekaligus juga membuat konsumen mendapatkan harga yang Affordable.
Kebijakan pendukung tersebut cukup penting, karena sangat disayangkan bila skema Smart Farming yang sudah dikembangkan dengan baik dalam rangka meningkatkan partisipasi generasi muda di sektor pertanian menjadi tidak sempurna akibat kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada mereka.
(Penulis: Alfa Hentriza)