Dilansir dari CNBC, Jakpat merilis terkait alasan penyebab mengapa Gen-Z tidak berminat bekerja di sektor pertanian. Sebanyak 33,3 % beralasan kalau sektor pertanian penuh dengan ketidakpastian dan risiko.
Smart Farming atau dalam bahasa Indonesianya disebut Pertanian Cerdas dapat diartikan sebagai penerapan teknologi digital informasi ke dalam ilmu pertanian.
Bedanya dengan pertanian konvensional yang proses kegiatannya dilakukan secara manual, Smart Farmingmelibatkan insight ilmu teknologi digital informasi.
Pelibatannya antara lain mulai dari tahap pra-produksi, tahap produksi, hingga tahap pasca-produksi. Secara umum, Smart Farming di Indonesia dikembangkan untuk mengatasi permasalahan ketahanan pangan yang rendah.
Nilai indeks GFSI (indeks yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan suatu negara) Indonesia tahun 2022 adalah sebesar 60,2,* menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 113 Negara.
Nilai tersebut juga lebih rendah dari rata-rata Asia Pasifik yang nilai Indeksnya sebesar 63,4 dan rata-rata Global dengan nilai Indeks sebesar 62,2. Inilah kenapa Indonesia mengimpor bahan-bahan kebutuhan pokok cukup banyak.
Dan secara spesifik, Smart Farming di Indonesia juga dikembangkan untuk mengatasi masalah rendahnya efisiensi dan produktivitas di sektor pertanian. Nilai ICOR sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan di Indonesia pada tahun 2017-2018 adalah sebesar 7,03, nilai yang cukup besar (menandakan Investasi di sektor tersebut tidak terlalu efisien).**
*) GFSI merupakan singkatan dari Global Food Security Index, indikator pengukurannya berdasarkan ketersediaan pasokan pangan, keterjangkauan harga pangan, kualitas keamanan dan nutrisi pangan, dan ketahanan sumber daya alam.
**) Nilai ICOR tersebut dihitung sendiri oleh penulis, dengan data-data yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Mengapa nilai ICOR tersebut ditahun 2018, karena data BPS mengenai pembentukan modal tetap bruto (PMTB) di sektor tersebut baru sampai tahun 2018.
***) Rumus nilai tukar petani adalah [(harga diterima petani ÷harga dibayar petani) × 100%]. Nilai tukar petani berkorelasi positif dengan kesejahteraan petani.
(Penulis: Alfa Hentriza)