Indonesia dapat memperluas target pengenaan pajak karbonnya pada bahan bakar kendaraan bermotor seperti halnya yang sudah dilakukan oleh Swedia. Potensi penerimaan dari penjualan BBM berupa bensin hanya meningkat sekitar Rp 3,31 triliun per tahun.
Begitupun jika perluasan dilakukan pada penjualan produk gas alam untuk keperluan pembangkit listrik, potensi penerimaan hanya bertambah sekitar Rp 0,42 Triliun per tahun.
Selain itu, jika pengenaan pajak karbon ini juga diperluas pada sektor swasta di luar industri pembangkit listrik, sektor swasta tentu akan memilih opsi lain selain menaikkan harga produk untuk menjaga tingkat persaingannya.
Salah satu caranya adalah melakukan efisiensi dengan mengurangi beban tenaga kerja yang dapat bermuara pada PHK massal. Sehingga, perluasan cakupan justru dapat berdampak buruk pada kondisi sosial-ekonomi jika tidak dipertimbangkan dengan matang.
Di sisi lain, peningkatan tarif pajak juga berpotensi menimbulkan ancaman sosial-ekonomi. Dari sisi produsen, peningkatan tarif pajak akan mengakibatkan peningkatan biaya produksi dan penurunan margin keuntungan yang akan bermuara pada peningkatan tarif listrik.
Sedangkan, permintaan listrik yang bersifat inelastis tidak akan mengubah permintaan dari sisi konsumen, meskipun telah terjadi kenaikan tarif listrik.
Alhasil, ini akan berakibat pada peningkatan inflasi dan penurunan belanja rumah tangga untuk kebutuhan lain.
Padahal, penerimaan pajak karbon ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sumber pembiayaan alternatif program PRK lainnya.
Selama periode 2018 hingga 2020, pemerintah bahkan mampu menggelontorkan anggaran perubahan iklim sebesar Rp 102,65 Triliun, 16 kali lebih besar dibanding potensi penerimaan pajak karbon.
Kemudian melalui instrumen green sukuk, Pemerintah Indonesia berhasil memperoleh dana sebesar Rp 37,9 Triliun pada tahun 2022, 6 kali lebih besar dibanding potensi penerimaan pajak karbon. Lebih lanjut, skema kerjasama publik badan usaha (KPBU) juga telah mencatat 5 proyek terkait program perubahan iklim dengan total anggaran sebesar Rp 12,54 Triliun, 2 kali lebih tinggi dibandingkan potensi penerimaan pajak karbon.
Bahkan dalam kerjasama internasional yang terbaru, yaitu just energy transition partnership (JETP), Pemerintah Indonesia telah mendapatkan komitmen pendanaan awal (baik dari swasta maupun publik) sebesar Rp 61 Triliun (Kurs 15.255) dalam 3 hingga 5 tahun ke depan. Angka ini tentu 6 kali lebih besar jika dibandingkan dengan potensi penerimaan dari pajak karbon di tahap awal.
Penerapan pajak karbon memang diperlukan untuk mendorong perubahan teknologi ke arah yang lebih rendah karbon, namun semestinya pajak karbon ini hanya diperlakukan sebagai instrumen pelengkap saja dalam hal pembiayaan PRK. Tentunya, optimalisasi potensi sumber pembiayaan lain yang ada penting untuk dilakukan.
Jangan sampai, kondisi sosial-ekonomi masyarakat digadaikan hanya untuk mengejar gengsi internasional semata dari negara-negara maju yang bahkan menghasilkan emisi jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Hal yang tak kalah penting yang harus dilakukan jika pajak karbon ini telah diterapkan nantinya adalah earmarking. Earmarking penting untuk dilakukan agar dana yang telah terkumpul dari pungutan pajak karbon benar-benar digunakan dalam program PRK. Sehingga, penerapan pajak karbon dapat memberikan dampak penurunan emisi yang nyata dan tidak menjadi praktik greenwashing semata.
Penulis : Sahaya Aulia Azzahra, Rivan Dwi Aghnitama (Peneliti CORE Indonesia)