China atau Tiongkok pada mulanya menghadapi persoalan serupa dengan Indonesia yakni jumlah penduduk yang besar ditengah keterbatasan sumber daya tanah dan mode pertanian tradisional.
Kemudian, pemerintah pusat Tiongkok memberikan perhatian besar pada pengembangan pertanian dengan mengusulkan revolusi teknologi pertanian baru.
Digitalisasi pertanian sudah didorong sejak tahun 2000-an. Setelah bergabung dengan WTO tahun 2001, Tiongkok menggenjot daya saingnya sehingga mampu memanfaatkan peluang.
Salah satu tonggak penting digitalisasi pertanian Tiongkok adalah desa digital sejak tahun 2006.
Pemerintah terus memperluas upaya digitalisasi, mengadopsi berbagai teknologi seperti sensor, analisis data, dan teknologi satelit untuk meningkatkan produksi pertanian. Pada tahun 2015, meluncurkan "Internet Plus" untuk meningkatkan inovasi dan efisiensi di sektor pertanian.
Dilanjutkan dengan kebijakan made in China 2025 yang sudah diumumkan sejak tahun 2015 silam yang menekankan penggunaan digitalisasi dalam sektor pertanian secara masif.
Dukungan terus menerus yang diberikan oleh pemerintah, investasi swasta, dan perkembangan industri teknologi di Tiongkok telah mempercepat digitalisasi pertanian di negara tersebut. Perencanaan pembangunan dan digitalisasi pertanian yang baik dan matang terbukti dapat meningkatkan produktivitas, memperluas kapasitas produksi pertanian.
Begitu juga dengan sektor manufaktur yang kinerjanya masih belum cukup menggembirakan. Ini menjadi ironi, mengingat bahwa sektor manufaktur dianggap sebagai kunci untuk keluar dari middle-income trap.
Korea Selatan yang memiliki starting poin yang sama dengan Indonesia yakni sama-sama di level negara pendapatan bawah pada tahun 1968, namun kini telah bertransformasi menjadi negara berpendapatan tinggi karena didorong oleh sektor manufakturnya yang kuat.
Tiongkok pun demikian, tahun 1968 masih senasib, kini pendapatan perkapitanya jauh diatas Indonesia. Sebelum tahun 1998 pendapatan perkapita Indonesia sempat diatas Tiongkok, namun sejak krisis moneter 1998 menghantam, pendapatan perkapita Tiongkok yang lebih tinggi.
Gap pendapatan perkapita Tiongkok dan Indonesia kini semakin melebar. Tiongkok mengalami lompatan signifikan pada tahun 2010 sementara Indonesia cenderung stagnan. Kuatnya peranan sektor manufaktur di Tiongkok dan Korea Selatan telah mendorong untuk terus berinovasi dan bertransformasi.
Digitalisasi dalam hal layanan publik pun masih terbatas. Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dalam perkembangan e-government mayoritas masih pada aspek penyediaan informasi melalui internet dan berbagi data di perangkat lunak yang berbeda, sementara layanan masih minim. Kurang lebih terdapat 27.000 aplikasi tidak saling terintegrasi. Sebagian sudah tidak berfungsi dan sebagian tidak bisa lagi dimanfaatkan Masyarakat. Sangat disayangkan terjadi pemborosan anggaran.
Dalam hal literasi digital juga masih terbilang rendah. Indonesia menempati posisi terakhir di bawah umumnya negara Asia Tenggara dalam penilaian indeks literasi digital. Angkanya hanya 62% dari rata-rata 70% atau jauh di bawah Korea Selatan yang mencapai 97%. Pada survei per provinsi, literasi digital masyarakat Indonesia berada di kisaran poin 3,54 dari skala 1-5 dengan penilaian berdasarkan kecakapan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital (Kominfo, 2022).
Kualitas SDM menjadi tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan ekonomi digital. Beberapa Perusahaan kerap kali kesulitan menemukan talenta digital yang memenuhi kualifikasi di pasar tenaga kerja. Jika talenta digital tidak segera disiapkan di tengah perkembangan teknologi dan kompetisi global yang makin ketat, ini dapat menjadi penghambat utama pertumbuhan ekonomi di masa depan. SDM kunci untuk transformasi digital (Gede dkk., 2019).
Pertumbuhan ekonomi digital yang digadang-gadang mengantarkan Indonesia ke deretan negara maju, kenyataannya masih memerlukan waktu untuk dapat memberikan nilai tambah bagi produk dalam negeri. Manfaatnya belum dirasakan oleh semua kalangan.
Prasyarat Utama Transformasi
Dalam upaya meningkatkan daya saing dan keluar dari middle-income trap, Indonesia perlu mempercepat transformasi digitalnya. Prasyarat utamanya adalah ketersediaan infrastruktur digital yang merata dan memadai. Belajar dari negara-negara yang sukses, seperti Tiongkok, pemerintah memegang peran signifikan dalam penyediaan infrastruktur dan suprastruktur untuk mendukung transformasi digital.
Penyusunan regulasi terkait pengembangan digital memang tidaklah mudah diformulasikan karena cepatnya perkembangan teknologi. Namun, hal ini dapat dimitigasi dengan lebih banyak melibatkan lintas aktor pemangku kepentingan dan sektor untuk diskusi publik dalam penyusunan regulasi. Kita perlu belajar dari keluhan investor mengenai ketidakjelasan regulasi di negeri ini, juga perlu mendengar suara kelompok yang rentan termarjinalkan karena ketidakadilan kebijakan.
Disamping itu, perlu adanya kebijakan yang komprehensif untuk meningkatkan keterampilan digital.
Hal ini dapat ditempuh melalui program pelatihan dan pendidikan kejuruan yang mana dalam penyelenggaraannya diperlukan kolaborasi yang solid antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk merumuskan kurikulum peningkatan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dan budaya Masyarakat.
Satu hal yang tak kalah penting adalah bagaimana mendudukkan ideologi bangsa dan menjalankan amanat konstitusi dalam transformasi digital. Transformasi digital untuk menumbuhkan ekonomi harus didasarkan pada paradigma kesejahteraan sosial. Sehingga manfaatnya dapat dirasakan semua lapisan masyarakat dan berkelanjutan.
Penulis: Eliza Mardian